KDRT Bisa Menyebabkan Gangguan Mental Anak


Gangguan identitas disosiatif (GID) atau dikenal juga dengan gangguan kepribadian ganda, erat kaitannya dengan riwayat kekerasan dalam rumah tangga, yang diterima saat masih kecil. Hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dan gangguan identitas disosiatif
Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak tidak hanya terkait dengan kekerasan fisik. Trauma emosional, bahkan seksual, dapat berdampak pada masa dewasa.

Anak belum mampu mengatasi kekerasan yang dialaminya. Dengan demikian mereka akan membentuk dunia mereka sendiri, terpisah dari kenyataan yang menyakitkan, sebagai sarana untuk bertahan hidup. Ini disebut perilaku disosiatif. Hal ini biasanya berkembang jadi kepribadian dan menjadi suatu kondisi yang disebut gangguan identitas disosiatif.

Mencegah kekerasan dalam rumah tangga dapat mengurangi risiko gangguan jiwa pada anak

Sebanyak 90% penderita GID pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak. Bayangkan jika kekerasan ini bisa dicegah. Tentu saja, jumlah orang yang mengalami kondisi ini akan berkurang. Pencegahan kekerasan dalam rumah tangga pada anak merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak, mulai dari psikolog, guru hingga teman anak.

Namun sayangnya masih diyakini bahwa masalah KDRT pada anak tidak memerlukan campur tangan pihak lain, di luar orang tua dan keluarga. Banyak yang melihat masalah ini hanya dengan sebelah mata karena pelaku kekerasan, seperti orang tua, dipandang sebagai orang baik.

Padahal, langkah pertama untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga anak adalah dengan mendengarkan cerita dan kemudian melihat tanda-tandanya secara fisik dan emosional.

Tahapan Pengobatan Gangguan Kepribadian Ganda Akibat KDRT

Jika Anda mengalami kekerasan dalam rumah tangga di masa lalu sebagai seorang anak dan saat ini memiliki gangguan identitas disosiatif, ada perawatan yang dapat Anda lakukan untuk mengatasinya. Perawatan ini akan dilakukan dalam tiga tahap.

Fase pertama

Tahap pertama perawatan adalah memastikan keamanan dan stabilisasi kondisi fisik dan mental. Fase ini dilakukan agar korban kekerasan dapat merasa aman dan damai kembali dalam kehidupan sehari-harinya.

Fase kedua

Setelah tujuan fase pertama tercapai, dokter atau terapis memasuki fase perawatan kedua. Pada fase ini, korban dibantu untuk mengatasi peristiwa kekerasan yang dialaminya.

Fase ketiga

Pada fase ketiga, korban juga mendapat bimbingan dalam menata kembali kehidupannya. Selain itu, merasakan kesedihan dan memproses kehilangan atau rasa sakit yang telah dirasakan adalah bagian dari fase ini.
Jika tahap ini bisa dilalui, korban bisa melanjutkan hidupnya tanpa harus memisahkan kenyataan dari dunia lain, yang menurutnya lebih aman.